Tanya: Segala yang dilakukan oleh Imam Husain as.
dalam peristiwa Asyura semuanya berdasarkan kecintaan, bukan bersifat
rasional. Lalu apakah itu artinya perbuatan beliau berlawanan dengan
akal?
Jawab: Di diri setiap manusia selalu ada peperangan antara sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk yang biasanya disebut sebagai Jihad Akbar; padahal jihad tersebut adalah Jihad Awsath (Jihad antara Jihad Akbar dan Jihad Asghar).
Orang yang selalu melakukan segala sesuatu berdasarkan akal dan menentang hawa nafsunya disebut dengan orang yang melakukan Jihad Awsath. Dia ingin menjadi orang yang menuruti akal dan menentang nafsu; derajat yang lebih dari itu baru disebut dengan Jihad Akbar, yaitu peperangan antara akal dan cinta, antara hikmah dar irfan dengan rasional dan masyhud.
Dalam jihad ini, akal menerima kebenaran suatu kenyataan berdasarkan
dengan dali-dalil rasional. Pengikut akal selalu menerima segala sesuatu
jika ada dalil yang masuk akal. Akan tetapi cinta, ia tidak mencukupkan
pengetahuan yang didapat dengan usahanya saja (Ilmu Hushuli), bahkan ia menginginkan ilmu yang menyatu dengan jiwa (Ilmu Hudhuri) sehingga apa yang ia fahami ia juga merasakannya dengan seluruh wujudnya.
Oleh karena itu di sinilah terjadi peperangan antara akal dan cinta lalu mulailah Jihad Akbar.
Perlu diketahui bahwa keduanya tidak ada yang salah dan semua benar;
hanya saja salah satunya benar dan yang satu lagi lebih benar; yang satu
baik dan yang satunya lagi lebih baik; satu diantaranya sempurna dan
yang satu lagi lebih sempurna. Berdasarkan ini, sesungguhnya segala yang
dilakukan oleh para wali Allah selalu berdasarkan cinta. Imam Shadiq
as. berkata, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang mencintai ibadah.”
Dan orang yang mencintai ibadah adalah orang yang telah merasakan hakikat surga dan neraka.
Akal menetapkan adanya surga dan neraka dengan dali-dalil yang masuk
akal. Tapi cinta berkata, “Aku ingin melihat surga dan neraka.” Orang
yang selalu berusaha menetapkan kebenaran surga dan neraka dengan
dalil-dalil rasional adalah orang yang berakal; tapi orang yang selalu
ingin melihat dan memaknai surga dan neraka adalah orang yang cinta.
Apa yang dilakukan oleh Imam Husain as. berdasarkan cinta. Cinta
berada di atas akal, bukan hal yang berntentangan dengan akal. Terkadang
kita menyebut seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak
masuk akal, yakni melakukan perbuatan tanpa didasari akal pemikiran.
Terkadang juga kita mengatakan bahwa seseorang telah melakukan suatu
perbuatan bukan hanya masuk akal, bahkan di atas itu, ia melakukannya
dengan penuh cinta; ia tidak hanya memahami tapi juga meresapi dengan
wujud dirinya.
Ketika seorang manusia telah menggapai hakikat dan berjalan sesuai
syuhud dan cinta, maka akal sudah tidak terlalu berperan lagi. Tidak
bergunanya akal dalam artian bahwa cahaya akal di bawah kekuatan cahaya
yang lebih terang lagi; bukan berarti akal sudah tidak bercahaya lagi.
Jadi, akal dalam dua keadaan tidak diperhatikan lagi oleh manusia:
1. Ketika seorang manusia berada dalam keadaan marah atau syahwat
kemudian melakukan suatu maksiaat. Di sini akal sama sekali tidak
dipandang dan apa yang ia lakukan berdasarkan kebodohan. Hal ini tidak
ada bedanya dengan bulan purnama yang tak nampak karena gerhana bulan
total terjadi. Di sini akal orang tersebut tidak lagi bersinar. Akal
orang yang bermaksiat seperti bulan yang tampak karena gerhana. Inilah
yang dimaksud oleh Imam Ali as. ketika beliau berkata, “Betapa sering
akal ditawan oleh hawa nafsu.”
2. Akal tetap bercahaya, tapi ada cahaya lain yang lebih terang dari
cahayanya. Hal ini sama seperti bintang-bintang yang bersinar. Bintang
tidak berguna di siang hari karena ada cahaya matahari yang lebih terang
darinya. Orang yang jatuh cinta akalnya tetap bekerja, tapi cahaya
cintanya lebih terang dari cahaya akal.
Apa yang dijalankan oleh Imam Husain as. di Karbala tidak hanya masuk
akal, bahkan lebih dari itu, beliau melakukan segalanya dengan penuh
cinta.
Rabu, 12 Juni 2013

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar